oleh

Masjid Saka Tunggal Banyumas, Berdiri Sebelum Kerajaan Majapahit?

Banyumas, korankompas.com – Didirikan pada 1288, masjid tertua di Indonesia ini sangat erat dengan perjalanan sejarah persebaran ajaran Islam di Cikakak oleh tokoh penyebar Islam, Mbah Mustolih pada era Kesultanan Mataram Kuno. Keunikan lain yang dimiliki oleh Masjid Saka Tunggal Banyumas adalah bangunannya yang hanya ditopang oleh satu tiang peyangga tunggal. Bila benar tahun pendiriannya tersebut diatas. Artinya, masjid ini dibangun sebelum Kerajaan Majapahit yang muncul tahun 1293 M. Benarkah?

Dirintis oleh K.H. Mustholih, Masjid Saka Tunggal Baitussalam terletak di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Masjid ini terkenal unik lantaran masih banyak monyet yang berkeliaran di sekitar lokasinya.

Masjid Saka Tunggal Banyumas memiliki ciri khas yang membedakannya dengan masjid lainnya. Salah satu keunikan masjid ini ialah memiliki empat helai sayap dari kayu di dalam saka yang melambangkan ”papat kiblat lima pancer” atau empat mata angin serta satu pusat. Sejarah Masjid Saka Tunggal Banyumas Dikutip dari Syamsul Ma’arif dan Nur Rohman dalam Sejarah Masjid Saka Tunggal Baitussalam di Desa Cikakak Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah di Jurnal Pendidikan Sejarah (Volume 5, 2018), pendirian Masjid Saka Tunggal Banyumas dirintis oleh K.H. Mustholih. Edhi Chatit dalam Babad Alas Mertani (2011) menyebutkan bahwa K.H. Mustholih tinggal cukup lama untuk berdakwah Islam di Desa Cikakak. Masyarakat Cikakak kala itu masih banyak yang melakukan perbuatan menyimpang dari ajaran agama Islam. K.H. Mustholih berpikir bahwa penting untuk mendirikan pusat dakwah. Maka, dibangun masjid yang dikenal dengan nama Masjid Saka Tunggal Baitussalam sebagai pusat dakwahnya. Mengenai tahun berdirinya masjid ini, terdapat beberapa versi.

Versi pertama dikutip dari Muhammad Abdullah dalam Peninggalan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisi Banyumas (2011) yang menyebutkan bahwa Masjid Saka Tunggal berdiri pada 1288 Masehi. Terdapat angka 1288 yang terukir di tiang atau saka tunggal masjid ini. Jika benar 1288 merupakan tahun masehi pembangunannya, maka bangunan masjid ini lebih tua dari Kerajaan Majapahit yang kemudian menjadi kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Nusantara. Versi kedua menyatakan, tahun 1288 M sudah didirikan bangunan tempat peribadatan, tetapi saat itu masih digunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu. Baru pada 1522 ketika Islam masuk dibawa oleh K.H. Mustholih ke Desa Cikakak, bangunan itu beralih fungsi menjadi masjid. Adapun versi ketiga mengatakan bahwa angka 1288 yang dimaksud adalah tahun dalam penanggalan hijriah atau tahun Islam, yang bila dikonversikan ke kalender masehi menunjukkan tahun 1522 M. Versi ketiga ini dirasa lebih masuk akal karena periode tersebut merupakan masa-masa runtuhnya Majapahit seiring dengan berdirinya Kesultanan Demak pada 1475 M sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa.

Arsitektur Masjid Saka Tunggal Banyumas Tulisan Awaliyah Mudhaffarah bertajuk “Refleksi Budaya Komunitas Islam Aboge Cikakak pada Masjid Saka Tunggal Banyumas” (2017) menyebutkan, masjid ini menggunakan atap sirap kayu. Selain itu, material dinding masjid awalnya adalah kayu dan anyaman bambu, namun dilakukan kemudian penambahan dinding bata untuk eksterior masjid dengan tujuan preservasi atau pemeliharaan. Penelitian Arif Sarwo Wibowo berjudul “Historical Assessment of the Saka Tunggal Mosque in Banyumas” yang terhimpun dalam Journal of Asian Architecture and Building Engineering (Volume 15, 2016), menuliskan bahwa pada interior masjid, anyaman bambu digunakan sebagai partisi antar ruangan dan sebagai material plafon. Kolom utama Masjid Saka Tunggal Banyumas terbuat dari kayu solid tanpa sambungan sama sekali yang berukuran 24×24 cm pada pangkalnya.

Kolom masjid dihiasi dengan empat buah sayap dan dipenuhi dengan ukiran bercorak flora. Empat buah sayap tersebut melambangkan “papat kiblat lima pancer” atau atau empat mata angin dan satu pusat. Pada mimbar masjid terdapat ukiran berupa dua buah surya mandala yang melambangkan dua pedoman umat muslim, yakni Al-Qur’an dan Hadits. Ornamen-ornamen yang terdapat pada masjid ini sangat kental dengan simbolisme nilai-nilai Islami yang bersinergi dengan adat-istiadat Jawa. Hal ini menggambarkan harmonisasi Islam dengan budaya lokal yang sudah ada sebelumnya. (tirto)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed