Jakarta, korankompas.com – Fraksi PKS DPR RI turut merespons permintaan Arteria Dahlan soal pencopotan kepala kejaksaan tinggi yang berbicara memakai bahasa Sunda saat rapat. Fraksi PKS DPR menilai permintaan Arteria berlebihan, bahkan cenderung menyakiti masyarakat Sunda.
“Meuni lebay kitu si Om Arteria Dahlan teh… Serius kalau kata saya mah. Eta teh lebay, berlebihan,” kata Sekretaris Fraksi PKS DPR Ledia Hanifa Amalia dalam keterangannya, Kamis (20/1/2022).
Ledia menjelaskan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, memang mewajibkan berbahasa Indonesia. Merujuk pada Pasal 33 dan 34 UU Nomor 24 Tahun 2009, terdapat 14 ranah komunikasi yang diwajibkan berbahasa Indonesia, di antaranya komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta, serta dalam laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintah.
Meski demikian, Ledia menyebut aturan sebagaimana diatur dalam UU 24/2009 itu bukan ‘mengharamkan’ penggunaan bahasa daerah. Menggunakan bahasa daerah, sebut anggota DPR dapil Jawa Barat I itu, dalam komunikasi tidak melanggar UU.
“Namun hal ini tentu tidak berarti penggunaan bahasa daerah yang hanya menjadi semacam penguat, penjelas, selipan, bukan penggunaan secara penuh sepanjang acara menjadi haram mutlak. Ibarat kata, jatuhnya jadi ‘makruh’ saja adanya tambahan-tambahan ungkapan bahasa daerah,” papar Ledia.
Ledia menuturkan anggapan bahwa menggunakan bahasa daerah tidak haram dikuatkan dengan Pasal 42 UU 24/2009. Di mana, pasal tersebut mengatur penghormatan, penghargaan, dan perlindungan negara kepada bahasa daerah.
Bunyinya, ‘Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia’.
“Jadi, bahasa daerah dikembangkan, dilindungi. Sementara bahasa Indonesia wajib dipakai dalam rapat-rapat resmi. Itu bukan sesuatu yang harus dipertentangkan. Kita tetap harus menyosialisasikan, membiasakan hingga kewajiban UU ini menjadi sesuatu yang secara otomatis berlaku dalam kegiatan-kegiatan resmi sehari-hari,” sebut Ledia.
Ledia lalu mengulas peringatannya kepada Mendikbud Ristek Nadiem Makarim (saat itu belum dilebur dengan Kemenristek) agar tidak menggunakan bahasa Inggris saat berkomunikasi dalam rapat di DPR. Ledia menjelaskan ketika itu Nadiem kerap mencampur penggunaan bahasa Indonesia dengan Inggris.
“Itu kan rapat resmi, maka saya ingatkan Mas Nadiem untuk berbahasa Indonesia sesuai aturan UU. Mungkin karena beliau lama di luar negeri, ungkapan-ungkapan dalam bahasa Inggris jadi berkali-kali tercetus,” ulas Ledia.
“Nah, konteks saya saat itu adalah mengingatkan beliau, agar terbiasa. Hasilnya, kini Mas Menteri sudah berbahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap rapat. Kalau ada sesekali tercetus ungkapan atau pilihan diksi bahasa Inggris, tentu wajar dan termaafkan,” imbuh anggota Komisi X DPR itu.
Lebih lanjut Ledia mengatakan UU 24/2009 tak mengatur soal sanksi jika dalam komunikasi di 14 ranah tidak menggunakan bahasa Indonesia. Berbeda halnya, sebut Ledia, dengan aturan tentang bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan, yang secara jelas mengatur sanksi pidana jika melanggar ketentuan yang ada.
“Jadi, kalau ada pelanggaran, maka yang pas itu ya diingatkan, dikasih tahu aturannya, secara informatif, persuasif dan edukatif. Kalau sampai minta diberhentikan, ditindak tegas, itu kan malah jadi melebihi ketentuan perundang-undangan. Artinya ya berlebihan. Lebay mun saur budak ngora jaman kiwari mah,” pungkas Ledia. (uha)
Komentar